Kamis, 12 Maret 2015

Tuan Presiden, Stop Berdiam Diri

OPINI-ON TRIBUNEKOMPAS.
-Ketegasan sikap Presiden Joko Widodo dalam menghentikan kriminalisasi yang dilakukan para pejabat Kepolisian RI amat dinanti. Tanpa ketegasan itu, polisi-polisi mbalelo akan semakin merajalela menjerat siapa saja yang mendukung penyidikan kasus rekening gendut Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Kewibawaan Presiden diinjak-injak mereka.


Presiden memang sudah meminta Kepolisian menghentikan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun suaranya tak digubris para pejabat Polri. Satu per satu aktivis anti-korupsi yang mendukung penyidikan kasus Budi Gunawan dijadikan tersangka. Setelah dua petinggi KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, lalu merembet ke Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM.


Tindakan pembangkangan korps berbaju cokelat itu semakin nyata saat Badan Reserse Kriminal Polri melayangkan somasi terhadap para pemimpin Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka dibidik lantaran merilis temuan pelanggaran HAM dalam penangkapan Bambang Widjojanto. Para petinggi Komnas HAM itu bakal dijerat dengan pasal tuduhan kesaksian palsu.


Tindakan itu luar biasa aneh. Menurut Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Komnas HAM, juga DPR, diberi tugas sebagai pengawas eksternal institusi Polri. Bagaimana mungkin lembaga yang diawasi malah menuntut institusi yang bertugas mengawasinya?


Publik semakin bertanya-tanya, mengapa polisi-polisi yang melakukan kriminalisasi terhadap aktivis anti-korupsi justru memperoleh promosi jabatan. Contohnya, Komisaris Besar Victor E. Simanjuntak, yang bukan penyidik, sehingga dianggap melakukan mal-administrasi dalam penangkapan Bambang Widjojanto, malah naik pangkat menjadi Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Bukannya dijatuhi sanksi, perwira menengah itu kini dipercaya memimpin unit yang menangani kejahatan kerah putih, termasuk korupsi. Bisa dibayangkan akhir kasus Budi Gunawan yang dilimpahkan kembali ke Kepolisian dan ditangani oleh orang dekat Budi.


Praktek insubordinasi para petinggi Kepolisian itu tak boleh dibiarkan. Itu melecehkan wibawa Presiden. Jokowi seharusnya segera menginstruksikan dengan tegas kepada pelaksana tugas Kepala Polri Badrodin Haiti agar menghentikan semua tindakan kriminalisasi.


Kerusakan yang ditimbulkan dari pembangkangan itu bisa menyebabkan ketidakstabilan situasi politik berkepanjangan. Berlarut-larutnya konflik antara KPK dan Kepolisian akan memicu demonstrasi di mana-mana. KPK pun lumpuh dan tak bisa menjalankan tugasnya memberantas korupsi. Citra Kepolisian di mata publik juga akan semakin runtuh. Situasi Kepolisian sudah gawat darurat.


Jokowi tak boleh bimbang untuk mereformasi tubuh Kepolisian sesegera mungkin. Harus ada perombakan luar biasa. Sejumlah posisi penting semestinya diisi oleh para perwira polisi profesional, yang taat kepada instruksi Presiden, dan bukan orang-orang dekat Budi Gunawan yang sedang berkasus. Dengan sangat ambruknya kepercayaan publik terhadap polisi, sekarang waktunya Kepolisian menjalankan "reformasi" di tubuhnya.

Selasa, 14 Januari 2014

Ujian bagi Jokowi

OPINION, TRIBUNEKOMPAS.
--
-Kemampuan Jokowi mengatasi persoalan sosial diuji lagi. Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota ini mesti membereskan urusan Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang dipersiapkan sebagai depo mass rapid transit. Tertundanya penataan Lebak Bulus jelas menghambat proyek MRT, yang amat diandalkan buat mengatasi kemacetan lalu lintas.

Problem muncul karena bus-bus lintas provinsi masih berkeberatan dipindahkan ke terminal lain, seperti Kampung Rambutan, Kalideres, dan Pulogadung. Perlawanan juga datang dari para pedagang, penjual tiket, dan sopir angkutan kota yang merasa dirugikan. Mereka sempat berdemonstrasi sehingga Jokowi untuk sementara menunda penutupan Terminal Lebak Bulus.

Popularitas Jokowi yang semakin melejit sebagai calon presiden-sekalipun belum diusung resmi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-bisa memudahkan upaya mengatasi urusan konkret seperti kasus Lebak Bulus. Orang juga sudah mengenal rekam jejaknya yang amat peduli terhadap kepentingan masyarakat bawah. Tapi hal itu bisa pula berakibat sebaliknya: justru menyulitkan penyelesaian masalah. Kalangan yang dirugikan oleh perubahan di Terminal Lebak Bulus akan menaikkan daya tawar jika mereka paham urusan seperti itu menjadi pertaruhan bagi reputasi Jokowi.

Itu sebabnya, Jokowi tetap harus berhati-hati. Pemerintah DKI Jakarta perlu mencari solusi yang memuaskan bagi pihak yang dirugikan oleh penataan Terminal Lebak Bulus. Urusan yang tampak kecil ini bisa memicu persoalan lebih besar bila tak ditangani secara bijak. Ia harus memastikan para pejabat DKI telah melakukan sosialisasi dan pendekatan secara maksimal terhadap operator bus dan pedagang yang masih menentang.


Penataan Terminal Lebak Bulus amat penting untuk memuluskan pembangunan proyek MRT. Pembenahan ini mesti dilakukan sebelum pengerjaan koridor MRT tahap I, yang membentang dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia. Panjang koridor I ini 15,7 kilometer dan ditargetkan selesai pada 2016. Diharapkan, proyek MRT ini menjadi solusi bagi kemacetan kronis di Jakarta. Kemacetan lalu lintas selama ini tak hanya menyiksa penduduk Jakarta, tapi juga menimbulkan kerugian besar secara sosial dan ekonomi.

Dengan kata lain, proyek MRT jelas menyangkut kepentingan lebih besar. Para operator bus jarak jauh, sopir, dan pedagang di Lebak Bulus semestinya rela berkorban. Tapi argumen seperti ini bisa tidak mempan untuk meluluhkan para pemrotes. Mereka tetap perlu didengarkan keinginannya agar tidak menimbulkan kisruh yang berkepanjangan.


Jokowi, yang sudah terbiasa menyelesaikan masalah pedagang kaki lima, permukiman liar, hingga pembebasan lahan untuk jalan tol, semestinya tidak kehabisan kiat untuk mengatasi masalah di Lebak Bulus. Ia juga dituntut bersikap tegas dalam menyelesaikan kisruh ini tanpa harus mengorbankan reputasinya sebagai pembela kepentingan rakyat kecil.

Jumat, 01 November 2013

Alamak Korupsi di Bea-Cukai

OPINION TRIBUNEKOMPAS.

-Penangkapan Heru Sulastyono oleh kepolisian karena diduga menerima suap Rp 11 miliar sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Kepala Sub-Direktorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ini ditengarai sudah cukup lama "bermain". Di dalam rekeningnya ditemukan sejumlah transaksi senilai Rp 60 miliar.


Pencokokan ini hanya menegaskan cap masyarakat bahwa lembaga yang mengawasi arus keluar-masuk barang itu merupakan sarang suap dan pungli. Sehari-hari kita bisa temui bagaimana telepon seluler selundupan-biasa disebut barang BM atau black market-mendominasi pasar dengan nilai perdagangan sampai Rp 100 triliun dalam lima tahun terakhir.


Barang impor selundupan lain, mulai dari produk elektronik, tekstil, sampai mobil mewah, juga beredar luas di pasar. Ini menunjukkan ada yang tidak beres dengan lembaga tersebut. Padahal telah banyak hal dilakukan pemerintah untuk membenahi Bea-Cukai.


Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2007 melakukan reformasi birokrasi dibarengi pemberian remunerasi. Selain itu, dilakukan banyak perombakan, antara lain dengan mengganti seluruh aparat di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, yang menjadi pintu utama ekspor dan impor. Sayangnya, upaya ini ternyata kurang efektif dalam melawan korupsi.


Kita masih ingat, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pemeriksaan mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok pada 2008, ditemukan segepok uang sogok lebih dari Rp 500 juta di laci-laci para pejabatnya. Setelah itu, ada kasus penyelundupan 30 kontainer BlackBerry yang pelakunya diputus tidak bersalah di tingkat kasasi.


Aparat Bea-Cukai memang telah berhasil mengungkap lebih dari 2.600 kasus penyelundupan sepanjang 2012, yang berpotensi merugikan negara Rp 190 miliar. Namun pengungkapan kecurangan yang dilakukan karyawan terasa sangat kurang.


Tertangkapnya Heru menunjukkan lemahnya upaya pengawasan internal untuk membersihkan Bea-Cukai dari tangan kotor koruptor. Padahal kasus Heru sudah ada dalam laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2010. Saat itu PPATK mengungkapkan adanya 12 pejabat Bea-Cukai yang memiliki rekening gendut.


Kuatnya jaringan di Bea-Cukai diduga mengakibatkan sejumlah kasus korupsi di lembaga itu tertutupi. Majalah Tempo edisi 11 Maret 2012 pernah menulis ihwal dugaan korupsi bekas Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai DKI Jakarta, Teguh Indrayana. Menteri Sri Mulyani saat itu meminta Inspektorat menindaknya, tapi pejabat yang memiliki rekening bernilai Rp 35 miliar ini tidak pernah tersentuh hukum.


Karena itu, penangkapan Heru harus dijadikan pintu masuk untuk mengungkap korupsi di lembaga ini. Kepolisian dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi memang sudah seharusnya turun tangan membantu pengawas internal di Kementerian Keuangan membersihkan Bea dan Cukai.


Penangkapan Heru yang dilakukan bersamaan dengan dilantiknya Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI diharapkan hanya sebuah kebetulan. Bukan sebagai pencitraan bos baru korps baju cokelat, yang sebelum dilantik berjanji lebih mengefektifkan pemberantasan korupsi.

Selasa, 13 Agustus 2013

Berbagai Teror di Sekitar Kita

(TRIBUNEKOMPAS) OPINI-ON.

- Penembakan beruntun akhir-akhir ini menunjukkan aksi teror tak pernah hilang. Tak hanya peledakan vihara di Tanjung Duren, Jakarta Barat, pelaku teror juga membunuh dua polisi di Ciputat, petugas penjara di Yogyakarta, dan melakukan serentetan penembakan di Jawa Tengah. Semua terjadi dalam sebulan terakhir. Publik pun cemas karena penembakan dan pengeboman itu tak diketahui apa motif dan siapa pelakunya.


Melihat pola dan jejak bukti, rangkaian teror itu tak ada kaitannya antara satu dan lainnya. Hanya, semuanya memiliki kesamaan, yaitu tak ada motif tradisional seperti perampokan atau perampasan. Menelusuri riwayat para korban juga tak menghasilkan petunjuk bahwa penembakan itu bermotif pribadi. Justru misteri itulah yang menimbulkan kecemasan masyarakat.


Masyarakat ketakutan karena lingkunganya tidak aman. Teror bisa saja menimpa mereka tanpa alasan yang jelas. Ihwal dua penembakan di Jakarta dan Yogyakarta, semua berlangsung di kompleks perumahan, saat sebagian besar penghuninya mudik merayakan Lebaran di kampung halaman. Dan kecemasan kian menjadi karena para korban adalah polisi, mereka yang bertugas menjaga rasa aman publik. Jika para penjaga keamanan saja tewas ditembak, apalagi warga sipil yang tak dibekali alat penjagaan diri.


Pesan para teroris itu jelas: mereka bisa melumpuhkan petugas keamanan dan mengejek dengan telak ketidakbecusan intelijen serta polisi untuk mencegahnya. Analisis Badan Intelijen Negara mengukuhkannya melalui pernyataan bosnya, Marciano Norman, bahwa ancaman terorisme nyata di sekitar kita. Para pelaku tak hanya membawa bahan peledak yang menyasar tempat ibadah, tapi juga pistol yang bisa diletuskan di mana saja ke arah siapa saja.


Serangan teror secara acak ini sesungguhnya tak kalah berbahaya ketimbang terorisme yang terpusat pada sasaran tertentu, seperti aksi kelompok Noor Din M. Top sebelum ia tewas. Kelompok ini punya sasaran tempat yang berbau Amerika atau Barat, sehingga bisa dibaca arah dan geraknya. Kini, setelah pentolan kelompok teror itu habis, aksi teror berubah bentuk menjadi aksi di tempat-tempat tak terduga: pinggir jalan, gang rumah, dan vihara.


Sebermula sasarannya memang markas polisi, seperti di Yogyakarta tiga tahun lalu. Tahun-tahun berikutnya, sasaran pun masih anggota polisi. Namun tahun ini target sasaran meluas ke warga sipil, meski tak sampai ada korban jiwa. Semua modus teror itu adalah penembakan dari jarak dekat.


Maka dugaan sementara adalah balas dendam jaringan teroris kepada polisi yang berhasil mematikan gembongnya, yakni Imam Samudera, Noor Din M. Top, dan Azahari. Apalagi di banyak tempat polisi bisa melumpuhkan mereka yang diduga sebagai anggota jaringan teror asal Poso, Sulawesi Tengah. Misalnya, penyergapan dua "calon pengantin" di Tulungagung, Jawa Timur, sebulan lalu.


Namun semua analisis ini tak menyurutkan kecemasan publik. Hari ini polisi menjadi korban, besok bisa siapa saja. Tujuan terorisme adalah menimbulkan kecemasan yang meluas terhadap rapuhnya keamanan banyak orang. Apalagi hingga kini polisi gagal mengungkap motif dan menangkap pelaku pencurian dua truk dinamit di jalan tol Jakarta-Bogor. Untuk mengembalikan rasa aman, polisi tak punya pilihan selain segera menangkap siapa di balik semua aksi kekerasan ini.

Rabu, 26 Juni 2013

Duhh..32 Persen?, Rendahnya Penyerapan Anggaran

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
Opinion - Sekali lagi, pemerintah gagal mempercepat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hingga Juni ini, baru 32 persen anggaran yang diserap-dua persen lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun lalu. Buruknya perencanaan proyek menyebabkan banyak kementerian tak mampu menggunakan anggaran secara cepat.


Dengan start yang lambat itu, diperkirakan angka penyerapan APBN 2013 tak akan lebih baik dibanding tahun lalu. Pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, daya serap anggaran cenderung menurun. Anggaran 2009 hanya terserap 91,8 persen, lalu menjadi 90,9 persen pada 2010. Dua tahun berikutnya, penyerapan anggaran berkutat pada angka 87 persen.


Seperti tahun sebelumnya, anggaran yang terserap kali ini terutama untuk gaji pegawai negeri dan alokasi dana ke daerah. Duit yang telah dicairkan untuk belanja modal alias pembangunan amat kecil, baru 14 persen. Ditambah faktor lain, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, minimnya penyerapan anggaran ini bisa menggerus target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen.


Kementerian Keuangan sebetulnya sudah paham penyebab lambatnya penyerapan, dari buruknya perencanaan kegiatan hingga bertele-telenya finalisasi APBN Perubahan. Itu sebabnya, kementerian atau lembaga telah diminta menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran lebih awal. Tapi langkah ini menjadi kurang efektif lantaran beberapa kementerian mencantumkan proyek secara serampangan sehingga perlu direvisi lagi.


Idealnya pula APBN-P ditetapkan paling lambat pada Maret lalu. Hanya, sikap ragu-ragu pemerintah dalam menaikkan harga BBM bersubsidi membuat penetapan anggaran perubahan tahun ini menjadi tertunda hingga Juni. Upaya memperbaiki penyerapan anggaran akan semakin sulit karena sebentar lagi datang bulan Ramadan dan liburan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, kementerian atau instansi baru akan kembali bekerja serius beberapa pekan setelah libur Lebaran.


Para pejabat juga sering berdalih, penggunaan anggaran lamban karena mereka tak mau senasib dengan rekannya yang masuk penjara gara-gara korupsi. Alasan ini mengada-ada. Mereka tidak perlu dipenjara bila benar-benar melaksanakan prinsip good governance. Dalam prakteknya, para pejabat yang kongkalikong dengan politikus masih terus berusaha mencari celah untuk menggangsir anggaran proyek.


Lambannya pengerjaan proyek tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah. Hal ini berarti sungguh kecil peran APBN, apalagi anggaran daerah, dalam memacu pembangunan. Praktis, fungsi anggaran negara sejauh ini terutama hanya mendistribusikan pendapatan, subsidi, serta membayar gaji pejabat dan pegawai negeri.


Keadaan yang tak ideal tersebut hanya bisa diperbaiki setidaknya dengan mempercepat penyerapan anggaran pembangunan. Itu sebabnya, pemberian sanksi bagi kementerian yang tak sigap memakai anggaran-diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2012-perlu dilaksanakan secara tegas. Jika tidak, masalah yang sama akan terus terulang setiap tahun.