Selasa, 13 Agustus 2013

Berbagai Teror di Sekitar Kita

(TRIBUNEKOMPAS) OPINI-ON.

- Penembakan beruntun akhir-akhir ini menunjukkan aksi teror tak pernah hilang. Tak hanya peledakan vihara di Tanjung Duren, Jakarta Barat, pelaku teror juga membunuh dua polisi di Ciputat, petugas penjara di Yogyakarta, dan melakukan serentetan penembakan di Jawa Tengah. Semua terjadi dalam sebulan terakhir. Publik pun cemas karena penembakan dan pengeboman itu tak diketahui apa motif dan siapa pelakunya.


Melihat pola dan jejak bukti, rangkaian teror itu tak ada kaitannya antara satu dan lainnya. Hanya, semuanya memiliki kesamaan, yaitu tak ada motif tradisional seperti perampokan atau perampasan. Menelusuri riwayat para korban juga tak menghasilkan petunjuk bahwa penembakan itu bermotif pribadi. Justru misteri itulah yang menimbulkan kecemasan masyarakat.


Masyarakat ketakutan karena lingkunganya tidak aman. Teror bisa saja menimpa mereka tanpa alasan yang jelas. Ihwal dua penembakan di Jakarta dan Yogyakarta, semua berlangsung di kompleks perumahan, saat sebagian besar penghuninya mudik merayakan Lebaran di kampung halaman. Dan kecemasan kian menjadi karena para korban adalah polisi, mereka yang bertugas menjaga rasa aman publik. Jika para penjaga keamanan saja tewas ditembak, apalagi warga sipil yang tak dibekali alat penjagaan diri.


Pesan para teroris itu jelas: mereka bisa melumpuhkan petugas keamanan dan mengejek dengan telak ketidakbecusan intelijen serta polisi untuk mencegahnya. Analisis Badan Intelijen Negara mengukuhkannya melalui pernyataan bosnya, Marciano Norman, bahwa ancaman terorisme nyata di sekitar kita. Para pelaku tak hanya membawa bahan peledak yang menyasar tempat ibadah, tapi juga pistol yang bisa diletuskan di mana saja ke arah siapa saja.


Serangan teror secara acak ini sesungguhnya tak kalah berbahaya ketimbang terorisme yang terpusat pada sasaran tertentu, seperti aksi kelompok Noor Din M. Top sebelum ia tewas. Kelompok ini punya sasaran tempat yang berbau Amerika atau Barat, sehingga bisa dibaca arah dan geraknya. Kini, setelah pentolan kelompok teror itu habis, aksi teror berubah bentuk menjadi aksi di tempat-tempat tak terduga: pinggir jalan, gang rumah, dan vihara.


Sebermula sasarannya memang markas polisi, seperti di Yogyakarta tiga tahun lalu. Tahun-tahun berikutnya, sasaran pun masih anggota polisi. Namun tahun ini target sasaran meluas ke warga sipil, meski tak sampai ada korban jiwa. Semua modus teror itu adalah penembakan dari jarak dekat.


Maka dugaan sementara adalah balas dendam jaringan teroris kepada polisi yang berhasil mematikan gembongnya, yakni Imam Samudera, Noor Din M. Top, dan Azahari. Apalagi di banyak tempat polisi bisa melumpuhkan mereka yang diduga sebagai anggota jaringan teror asal Poso, Sulawesi Tengah. Misalnya, penyergapan dua "calon pengantin" di Tulungagung, Jawa Timur, sebulan lalu.


Namun semua analisis ini tak menyurutkan kecemasan publik. Hari ini polisi menjadi korban, besok bisa siapa saja. Tujuan terorisme adalah menimbulkan kecemasan yang meluas terhadap rapuhnya keamanan banyak orang. Apalagi hingga kini polisi gagal mengungkap motif dan menangkap pelaku pencurian dua truk dinamit di jalan tol Jakarta-Bogor. Untuk mengembalikan rasa aman, polisi tak punya pilihan selain segera menangkap siapa di balik semua aksi kekerasan ini.