Senin, 27 Mei 2013

World Statesman Award kepada Presiden Yudhoyono, Pantaskah?

*** Ooohhh..., Ini fenomena di era demokrasi tentang penerimaan sebuah penghargaan bergengsi ACF, di Amerika Serikat. Pantaskah sang Presiden menerimanya? Bergulir perdebatan tentang World Statesman Award yang akan diberikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencapai titik klimaks dan tahap kekonyolan. Debat merupakan bagian dari demokrasi. Tapi problem mulai timbul ketika pertentangan pendapat membelok ke persoalan suku, ras, dan agama.

Bermula dari pengumuman The Appeal of Conscience Foundation (ACF), sebuah yayasan bergengsi, yang memberikan World Statesman Award kepada Presiden Yudhoyono karena ia dianggap berjasa mempromosikan toleransi antarumat beragama. ACF, yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 dan berbasis di Amerika Serikat, menyebut diri sebagai organisasi yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antar-kepercayaan.


Di Jakarta, kontan saja pro-kontra meledak. Hendardi dari Setara Institute menyatakan justru sejak 2006 sampai 2012 praktek intoleransi beragama meningkat 20-30 persen dan pemerintah tidak menegakkan hukum dengan tegas.


Beberapa protes lain mengajukan kasus Ahmadiyah, Syiah, dan berbagai umat gereja, antara lain Gereja Kristen Indonesia di Yasmin, Bogor, sebagai bukti intoleransi yang tak dapat ditangani pemerintah.


Protes paling keras datang dari pengajar etika politik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ. Ia menulis surat terbuka dan mempertanyakan alasan ACF memberi penghargaan ini. Magnis mengungkapkan kesulitan umat Kristen mendapat izin membuka tempat ibadah, meningkatnya jumlah gereja yang ditutup paksa, juga regulasi yang menyulitkan kalangan minoritas dalam beribadah. Selain itu, Magnis menyebutkan soal tewasnya anggota jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah.

Presiden Yudhoyono dianggap tidak memiliki keberanian menunaikan tanggung jawabnya melindungi kalangan minoritas. Tak ada larangan bagi Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk tampil menjadi "juru bicara" Presiden Yudhoyono. Tapi tak perlu emosional, apalagi argumennya disiarkan luas, antara lain melalui media sosial Twitter.

Reaksi "panas" Dipo, yang membawa-bawa predikat Magnis sebagai nonmuslim, justru mengurangi bobot argumennya bahwa selama ini Presiden sudah banyak melakukan usaha dalam urusan toleransi beragama. Memakai atribut "nonmuslim" untuk menyerang balik Magnis seperti menepuk air di dulang.

Ia justru memamerkan contoh sangat jelas tentang sikap tidak toleran pembantu Presiden dalam menerima kritik. Dipo terjerembap dalam sikap yang cenderung memecah-belah umat, dengan mendudukkan Presiden sebagai bagian dari "muslim", yang seolah-olah berhadapan dengan "nonmuslim".


Dengan cara seperti itu, Dipo, yang sesungguhnya ingin mengatakan pemerintahan Yudhoyono tidak diskriminatif, malah menuai kesan sebaliknya. Apalagi terkesan ia sekadar meladeni Magnis, sedangkan protes atas pemberian penghargaan itu juga datang dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Ma'arif.


Fakta terjadinya kekerasan atas warga Ahmadiyah, Syiah, dan Gereja Yasmin saja sudah gamblang menunjukkan Presiden Yudhoyono belum pantas menerima penghargaan itu. Sikap intoleran Dipo Alam melengkapi ketidakpantasan ini.