Sabtu, 23 Februari 2013

Ayo KPK, Jangan Cuma Jenderal Djoko

OPINO-ON,  (TRIBUNEKOMPAS)  

-  Cara Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus korupsi Inspektur Jenderal Djoko Susilo amat mengesankan. Penyidik tak berkutat pada patgulipat proyek simulator mengemudi yang membelit bekas Kepala Korps Lalu Lintas ini. Mereka juga mengendus harta yang diduga hasil kejahatan dan langsung membeslahnya. Tindakan agresif seperti ini semestinya juga diterapkan pada tersangka lain.


Djoko memang dituduh melakukan korupsi proyek simulator sekaligus menggelapkan duit hasil kejahatan ini. Bersenjatakan delik pencucian uang, penyidik memburu harta tersangka yang ditaksir mencapai Rp 45 miliar. KPK telah menyegel rumah mewah Djoko yang berserakan di Solo, Yogyakarta, dan Semarang. Dengan cara ini, harta hasil korupsi itu mudah dikembalikan ke negara bila kelak ia divonis bersalah.


Penanganan kasus simulator terbilang cepat. KPK menjerat Djoko dan menggeledah kantor Korps Lalu Lintas pada akhir Juli lalu. Enam bulan berselang, penyidik sudah membekukan hampir semua harta tersangka. Tekanan berat dalam kasus ini--sempat menjurus ke konflik KPK versus Polri--juga tak membuat penyidik surut membongkar proyek simulator.


Bandingkan dengan pengusutan Nazaruddin yang lamban. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu telah dicokok sejak Agustus 2011. Dari puluhan proyek Nazar, sejauh ini baru kasus Wisma Atlet yang menjeratnya. Belakangan ia dijaring dengan delik pencucian uang, tapi terbatas pada pembelian saham PT Garuda Indonesia yang diduga menggunakan fee sejumlah proyek. Hingga kini, juga banyak harta Nazar yang belum disita.


Tersangka lain, Angelina Sondakh, bahkan sama sekali tak diusut hartanya. Bekas rekan Nazar di Demokrat ini hanya dijaring dengan kasus suap Wisma Atlet dan proyek kampus. Tanpa penggunaan delik pencucian uang, tertutup pula penerapan prinsip pembalikan beban pembuktian di pengadilan. Angelina akhirnya divonis ringan, 4,5 tahun penjara, tanpa kewajiban mengembalikan harta korupsi.

Penyidikan kasus korupsi Hambalang lebih compang-camping lagi. 

KPK baru serius membongkar kasus ini setelah pusat olahraga di Sentul, Bogor, itu diketahui roboh pada pertengahan tahun lalu. Padahal, setahun sebelumnya, Nazar telah berkoar-koar mengungkapkan skandal proyek Rp 2,5 triliun itu. Hingga kini baru mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan anak buahnya yang dijadikan tersangka.


Kontraktor proyek Hambalang juga belum dijerat. PT Adhi Karya, yang memenangi tender proyek itu, baru belakangan ini digeledah. Begitu pula PT Dutasari Citralaras, subkontraktor proyek raksasa itu. Padahal pengusutan PT Dutasari merupakan kunci pembuka aliran duit ke Kongres Partai Demokrat seperti yang berulang kali diteriakkan oleh Nazaruddin.


Sederet kejanggalan itu menunjukkan banyak hal yang mesti dibenahi KPK. Soliditas kalangan penyidik dan pimpinan mesti ditingkatkan agar lembaga ini semakin sigap dan profesional dalam mengurus setiap kasus. KPK semestinya menjadikan kasus Djoko Susilo sebagai patokan cara membongkar korupsi, dari unsur kecepatan penggeledahan hingga soal penerapan delik pencucian uang.