Selasa, 22 Januari 2013

Pemanfaatan Dana Jampersal Masih Kurang Maksimal

OPINI-ON, (TRIBUNEKOMPAS)  

--  KEBIJAKAN Pemerintah Pusat mengenai Jaminan Persalinan atau Jampersal ternyata belum sepenuhnya mampu menjawab persoalan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. UNFPA dalam Laporan Kependudukan 2008 menyebutkan, angka kematian ibu di Indonesia 420/100.000 kelahiran hidup, sementara Singapura 14, Malaysia 62, Thailand 110, Filipina 230, Vietnam 150, dan Myanmar 380 per 100.000 KH.

Laporan tersebut mengklarifikasi hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 yang menyebut angka kematian ibu (AKI) Indonesia 262/100.000 kelahiran hidup (KH). Angka tersebut tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan SDKI 1994 (390), SDKI 1997 (334), SDKI 2002-2003 (307).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Laporan Perkembangan Pencapaian MDGs (2004: 58-59) antara lain menyebut penyebab AKI perdarahan (28 persen), eklamsia atau gangguan akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan (13 persen), partus lama (9 persen), komplikasi aborsi dan infeksi (2 juta kasus per tahun atau 11 persen), dan karena kebersihan yang buruk saat persalinan atau penyakit menular akibat hubungan seks yang tidak diobati (10 persen).

Hal tersebut menunjukkan, kondisi kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia 15 tahun terakhir tidak berubah, untuk tidak mengatakan sangat buruk. Belum meratanya pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terlatih, terutama bidan, juga memengaruhi.

Ada 83.000 bidan dan 95.688 dukun beranak, tetapi bidan desa hanya ada di 30.236 desa dari 69.957 desa (UNFPA, 2009). Sementara, layanan obstetrik dan neonatal darurat oleh dokter spesialis kandungan pasti sangat kecil dan ada di kota. Jika dikaitkan dengan target Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) untuk menurunkan AKI sebesar tiga perempatnya pada tahun 1990-2015, penurunan angka 400.000 KH pada 1990 (SDKI/1994), pada 2015 menjadi sekitar 124.000/100.000 KH makin jauh dari target, kecuali menjadi kebijakan prioritas sungguh-sungguh seluruh sektor terkait, terutama pemerintah.

Pemerintah memiliki banyak program menurunkan AKI, antara lain Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) atau Pelayanan Kespro Terpadu (Yankespro) esensial di tiap tingkat layanan kesehatan. Ada gerakan sayang ibu, desa siaga, polindes, dan posyandu dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Pelayanan Obstetri Neonatus Emergensi Dasar (PONED) di puskesmas dan Pelayanan Obstetrik Neonatal Komprehensif (PONEK) di rumah sakit rujukan tingkat kabupaten.

Dana yang digunakan triliunan rupiah dari APBN, tetapi AKI tetap tinggi. Padahal, 75 persen kematian ibu dapat dicegah bila perempuan hamil dapat menjangkau fasilitas kesehatan tepat waktu. HAl ini diperparah dengan keterlambatan turunnya dana jampersal yang digadang-gadang mampu mengurangi jumlah AKI.
Dalam Anggaran tahun 2012 misalkan,dana untuk jampersal memang naik menjadi Rp 500 milliar. Namun secara prosentase, jumlah ini justru menurun dari 1,99% menjadi 2,25%. Artinya, kesehatan ibu hamil belum menjadi skala prioritas dalam Anggaran nasional maupun Daerah.

Namun sesungguhnya dana persalinan ini sangat tidak representatif dibanding dengan kebutuhan di kalangan masyarakat bawah. Seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membatasi anggaran jaminan persalinan (Jampersal).

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 631/Menkes/RER/III/- 2011 tentang Jampersal sudah menentukan batasan biaya. Anggaran untuk pemeriksaan dalam masa hamil dilakukan empat kali. Setiap pemeriksaan anggarannya sebesar Rp10.000.

Untuk persalinan normal dibiayai Rp350.000, sedangkan pascamelahirkan akan dilayani pemeriksaan tiga kali setiap kali periksa Rp10.000. “Setiap wanita selama masa hamil sampai selesai melahirkan dibiayai pemerintah pusat dengan total Rp420.000,” ujar Kabid Pengembangan dan Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang dr Ngakan Putu, kemarin.

Pelayanan persalinan ini bisa dinikmati di Pusat Kesehatan Desa (PKD), bidan desa, Puskesmas, dan Puskesmas Pembantu (Pustu). Selama ini tempat yang menjadi penanganan pertama kesehatan (PPK) tersebut sudah terkoneksi dengan Dinkes. Untuk yang penanganan operasi, bisa ditangani oleh rumah sakit umum daerah (RSUD) setelah mendapat rujukan dari PPK. Rujukan ini biasanya dilakukan jika PPK tidak mampu menangani persalinan.

Di beberapa daerah malahan dana persalinan ini dipakai untuk pos lain. Bahkan beberapa daerah menyisakan jumlah yang tinggi untuk Jampersal. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah sesungguhnya masih miskin mekanisme penyerapan dana Jampersal tersebut.

Maka dari itu, berdasarkan data dan berbagai hal yang terjadi diatas seyogyanya pemanfaatan anggaran ini  bisa dimaksimalkan dalam APBN atau APBD selanjutnya. Dengan begitu, warga kurang mampu benar-benar bisa terbantu. Jangan sampai program ini mempersulit warga yang berhak menerimanya. Jadi pemerintah harus mempertimbangkannya kembali, bagaimana dana tersebut bisa terserap.
Dede Dwi Kurniasih
Anggota Departemen Sosial PP Nasyi'atul Aisyiyah