Rabu, 03 Oktober 2012

1, 2 Atau 3 Juta Korban Tragedi 1965?

Opini On Redaksi, (TRIBUNEKOMPAS)  
 
-  Kini, 47 tahun berlalu sejak pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya. Rekonsiliasi masih jauh dari angan-angan. Yang abadi hingga kini, para pelaku-juga organisasi serta aparatur negara yang menyokong aksi sadistis itu-sibuk membela diri seraya mengingatkan tentang "bahaya laten" komunisme.

Tak ada angka pasti ihwal jumlah korban peristiwa 1965-1966 itu. Laporan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan jumlah korban tewas sekitar 1 juta orang. Menurut mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, setidaknya 3 juta orang terbunuh. Para aktivis kiri mempercayai 2 juta.


Dalam semangat mengungkap "truth" itulah film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer layak mendapat perhatian. Dibuat selama 7 tahun, film itu memuat kesaksian terbuka seorang bergajul yang pernah membunuh ratusan orang PKI di Medan. Kesaksian tersebut menguak motif lain para jagal: dendam pribadi. Bagi Anwar Kongo, jagal itu, orang-orang PKI, harus dibunuh karena mereka melarang film Barat-"kapitalisme" yang bertahun-tahun telah menafkahi Anwar sebagai tukang catut karcis bioskop. Sejumlah algojo lain menyampaikan apologia yang tak baru: mereka membunuh untuk menyelamatkan negara dari bahaya komunis.


Dalam alam pikir Orde Baru yang belum sepenuhnya pupus di masyarakat, permohonan maaf yang diajukan Presiden Abdurrahman Wahid pada awal reformasi dulu layak diapresiasi. Sebagai kepala negara dan kiai Nahdlatul Ulama, Gus Dur secara terbuka menyatakan penyesalan. Patut disayangkan, 13 tahun setelah itu segelintir ulama NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti jejak mereka. Sikap ini mereka ambil setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini. Sejarah mencatat, NU adalah organisasi yang aktif berperan "membersihkan" PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.


Betapapun penolakan tak surut, langkah untuk menyembuhkan luka 1965 harus terus dilakukan. Membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili para pelaku-kini uzur atau bahkan sudah meninggal-tampaknya bukan rencana yang mudah dilakukan. Proses rekonsiliasi yang membutuhkan undang-undang diperkirakan akan memakan waktu lama meski tak sepatutnya diabaikan.

Permintaan maaf pemerintah mungkin jadi solusi jangka pendek. Penyesalan bisa dinyatakan dengan memberi kompensasi yang wajar kepada para korban. Aksi pemerintah ini diharapkan diduplikasi oleh masyarakat di level yang lebih mikro. Benih permaafan itu sebetulnya bukan tak ada sama sekali.


Di Palu, Sulawesi Tengah, Wali Kota Rusdi Mastura secara resmi dan terbuka meminta maaf kepada bekas anggota PKI. Kepada keluarga korban, ia menjanjikan kesehatan gratis dan beasiswa. Ia juga berencana mendirikan monumen di bekas lokasi kerja paksa PKI. Sebagai pegiat Majelis Syuro Muslimin, ia mengaku organisasinya terlibat dalam aksi mengganyang PKI.


Tak selayaknya pula kita terus-menerus menjadikan komunisme sebagai momok. Sudah lama ideologi itu bangkrut. Uni Soviet porak-poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan Amerika. Ide masyarakat tanpa kelas adalah utopia yang usang dan sia-sia. Ketetapan MPRS tentang larangan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme sudah saatnya dihapus. Menyebut komunis sebagai ateis merupakan salah kaprah yang bertahun-tahun telanjur dipercaya. Dengan kata lain, hadapi komunisme dengan rileks. Sebab, ideologi itu sesungguhnya biasa-biasa saja.